Damailah Selalu Acehku
Senin, 7 April 2014 09:07 WIB
(Sepucuk Surat dari Turki)
Oleh Azwir Nazar
INI sepucuk surat untuk tanahku, Aceh. Perih hati kami membaca di media berita tentang Aceh yang berdarah. Negeri syariat, bumi para syuhada. Di tanah yang seharusnya bersemayam keteduhan dan kedamaian. Tempat asal mula agama Islam bersemai dan mengantar sampai ke penjuru Nusantra. Bumi para Wali yang menjunjung tinggi peradaban dan memiliki sejarah gilang gemilang. Daerah modal yang istimewa menjadi otak bagi bangsa Indonesia.
Belum lagi lama masa perang berakhir. Baru sebentar usia damai kita rasakan. Setelah berpuluh-puluh tahun hidup dalam nestapa air mata. Belum pun kering luka yang menganga para korban. Tak pun sembuh trauma menakutkan. Beberapa hari ini mengapa Acehku kembali terusik. Sambil ‘menahan’ malu dan miris membaca peristiwa demi peristiwa menimpamu, Aceh. Kali ini lebih sedih karena kita rela berdarah-darah dengan saudara sendiri, para pejuang.
Surat ini saya tulis dari bumi Al-Fatih. Negeri pejuang dan penakluk yang masyhur. Pusat kekhalifahan terakhir Islam Ustmani. Bumi yang sangat menawan dan penuh peradaban. Saya mendengar banyak kisah cinta Aceh dan Turki di masa lalu. Mulai perkampungan Turki yang masih tersisa di Darut Dunya. Ada pula dokumen, arsip dan surat antara Kerajaan Ustmani dengan Kerajaan Aceh Darussalam. Sejarah mencatat bahwa sejak 1565, dua kerajaan ini sudah menjalin kerja sama.
Pengiriman 500 pasukan dan Armada perang untuk menghalau serangan Portugis di Selat Malaka menandai babak menakjubkan itu. Kapal-kapal Aceh yang sering diganggu penjajah Portugis diizinkan memakai Bendera Bintang Bulan Turki supaya aman di pelayaran dari perompak dan musuh. Armada yang dikirim Sultan Selim II ke Aceh yang dipimpin oleh Kurdoglu Hizir Resi, terdiri dari prajurit tangguh, pembuat senjata, ahli bela diri dan insinyur.
Mereka kemudian juga mengajarkan Aceh cara membuat meriam perunggu dan senjata seperti senapan putar bergagang yang telah diproduksi sendiri pada abad ke-17. Peristiwa ini menggambarkan kebesaran Kerajaan Aceh Darussalam di masa lalu. Fakta ini bisa diteliti dan didalami dalam beberapa buku seperti, The Cambridge History of Southeast Asia (Nicholas Tarling), Islam in the Indonesian Word; an Account of Institutional Formation (Azumardi Azra), A Splendid Exchange; how trade shape the word (William J. Berntein), dan lain-lain.
Negeri dua benua
Saya juga melihat Turki lebih dekat. Bukan saja untuk melanjutkan pendidikan di negeri dua benua yang menjadi primadona dan tapak jelajah para Nabi, tapi juga seperti adik yang berkunjung ke kampung kakak tertua. Karakter orang Turki itu persis sama dengan orang Aceh. Keras kepala, binkeng, tegas, dan kasih sayang. Para penakluk, pendakwah dan keturunan “raja” semua ada di sini. Semua mengaku muslim, tapi banyak yang tidak shalat. Sekuler! Bila menonton bola, fanatiknya pun bukan main. Egois, suka berbicara keras dan kasar, penidur pagi, supir yang `gila’ melengkapi hipotesa saya bahwa Turki sama pungoe-nya dengan Aceh. Tapi orang Turki suka membantu sesama, setia dan sangat dermawan.
Saya juga melihat Turki lebih dekat. Bukan saja untuk melanjutkan pendidikan di negeri dua benua yang menjadi primadona dan tapak jelajah para Nabi, tapi juga seperti adik yang berkunjung ke kampung kakak tertua. Karakter orang Turki itu persis sama dengan orang Aceh. Keras kepala, binkeng, tegas, dan kasih sayang. Para penakluk, pendakwah dan keturunan “raja” semua ada di sini. Semua mengaku muslim, tapi banyak yang tidak shalat. Sekuler! Bila menonton bola, fanatiknya pun bukan main. Egois, suka berbicara keras dan kasar, penidur pagi, supir yang `gila’ melengkapi hipotesa saya bahwa Turki sama pungoe-nya dengan Aceh. Tapi orang Turki suka membantu sesama, setia dan sangat dermawan.
Sama halnya dengan Aceh kini Turki juga sedang menyongsong musim pemilu. Turki lebih awal dua mingggu di banding di tanah air. Di sini juga ada partai politik, para caleg dan kandidat yang akan bertarung dalam pemilu. Namun calon parlemennya ada professor, mantan Rektor, peneliti, pengusaha, cendikiawan, dan mereka yang memiliki pendidikan tinggi. Kita bisa bayangkan kualitas parlemen yang akan menghasilkan produk hukum untuk tatanan masyarakat nantinya. Saya juga sempat berkeliling di beberapa kota yang corak politik dan partai berkuasanya di level kota berbeda. Saya melihat banyak persamaan antara orang Aceh dan Turki.
Meski ditempa oleh berbagai konspirasi dan tekanan Barat, rakyat Turki memiliki nasionalisme yang kuat. Rasa cinta mereka kepada tanah air bisa meleburkan kepentingan kelompok. Partai politik yang berkuasa bekerja keras, meraih dan mendulang prestasi untuk kesejahteraan rakyat. Melawan korupsi dan menjunjung hukum. Pendidikan gratis, kesehatan murah dan transportasi umum yang nyaman adalah wajah Turki kini. Mereka bisa menanggalkan kepentingan pribadi dan kelompoknya yang picik dan sempit, bahu-membahu untuk membangun kebesaran Turki yang memiliki sejarah dan peradaban. Mereka menjadikan sejarah “Usmanlik” sebagai spirit untuk membangkitkan Turki secara bersama-sama.
Aceh lon sayang. Surat ini sebagai cinta kami di rantau yang jauh. Wahai negeri para pejuang dan syuhada. Tahukah engkau bahwa bangsa-bangsa lain di dunia berlomba-lomba menyebar rasa sayang dan berbagi. Saling bahu-membahu mendorong generasinya untuk hidup lebih terhormat, supaya bisa berdiri tegak dan sejajar dengan bangsa lain. Membuka akses informasi yang objektif dan transparan, menciptakan keadilan politik dan pemerataan ekonomi. Tidak saling bertikai dalam kebodohan, menyebar fitnah keji dan saling membunuh.
Apa jadinya petak-petak tanah yang selalu tumpah darah? Sudah tidak lagikah kita memiliki hati jernih dan rasa kasih sayang? Kisah sedih musibah belum pun sepenuhnya pulih, mengapa kekuasaan menggelapkan semua mata dan rela saling menghabisi?
Menyesak kalbu
Sungguh menyesak kalbu, membaca kisahmu, Aceh. Sederetan peristiwa kekerasan, insiden penembakan, pengeroyokan, penganiayaan, penculikan, pengrusakan, dan saling menyebar kebencian di musim politik sudah mengubah wajahmu di mata dunia. Wibawamu runtuh akibat ulah mereka yang belum paham akan sejarahmu sebagai bangsa besar. Mereka lupa, politik dan partai hanya alat untuk mencapai kekuasaan. Dalam UU Pileg pun mendefinisikan kampanye politik sebagai kegiatan peserta pemilu untuk meyakinkan para pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program. Bukan menebar kebencian, menipu, dan saling mengancam.
Sungguh menyesak kalbu, membaca kisahmu, Aceh. Sederetan peristiwa kekerasan, insiden penembakan, pengeroyokan, penganiayaan, penculikan, pengrusakan, dan saling menyebar kebencian di musim politik sudah mengubah wajahmu di mata dunia. Wibawamu runtuh akibat ulah mereka yang belum paham akan sejarahmu sebagai bangsa besar. Mereka lupa, politik dan partai hanya alat untuk mencapai kekuasaan. Dalam UU Pileg pun mendefinisikan kampanye politik sebagai kegiatan peserta pemilu untuk meyakinkan para pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program. Bukan menebar kebencian, menipu, dan saling mengancam.
Seharusnya para penguasa berperan mewujudkan demokrasi yang terkonsolidasi dan bermakna. Bukan demokrasi hokum rimba. Demokrasi yang mencerdaskan, berusaha merebut hati rakyat dengan program yang logis dan bersentuhan langsung dengan kepentingan masyarakat. Sehingga rakyat pun akan memilih dengan akal sehat. Kualitas demokrasi kita pun akan makin bagus. Saya ikut kampanye di Turki, sepulangnya banyak mendapat buku, selebaran dan banyak informasi yang bermanfaat. Berupa pendidikan politik dan pencerdasan masyarakat dalam menentukan pilihan politik.
Sebagai penutup surat ini, saya selalu berdoa dan berharap, damailah Acehku. Cukup sudah pilu panjang yang menyisa tangis dan rintihan korban konflik dan tsunami. Jangan jadikan kekuasaan sebagai candu untuk membunuh dan berbangga-bangga. Jangan menipu mereka yang bodoh. Jangan mengancam mereka yang tidak berdaya. Lihatlah semua rakyat Aceh sebagai saudaramu dengan penuh kasih sayang. Sama derajatnya, meski berbeda suku dan ras.
Sebarkanlah suara dan pesan kasih sayang wahai ulama. Sampaikan berita perdamaian wahai para khatib dan dai. Berikan rasionalisasi dan pencerdasan wahai kaum intelektual dan akademisi. Jangan diam melipat tangan melihat Aceh kita berlumuran darah. Saling menyebar terror dan menyulut perpecahan. Damailah selalu Acehku. Semoga Allah Swt memberikan kita taufik dan hidayah. Mencurahkan rahmat dan kasih sayangNya dalam memilih pemimpin yang akan membawa Aceh menuju baldatun tayyibatun warabbul ‘ghafur. Amin.
* Azwir Nazar, Kandidat Doktor Komunikasi Politik, Tuha Peut Ikatan Masyarakat Aceh Turki (IKAMAT), dan Ketua MPA PPI Indonesia Turki. Email: azwir.nazar@yahoo.com